ANALISIS DAMPAK RISIKO KREDIT
BERMASALAH TERHADAP RETURN ON ASSET PADA BANK
PERKREDITAN RAKYAT
Wangsit Supeno
Akademi
Manajemen Informatika dan Komputer Bina Sarana Informatika (AMIK BSI)
Jl. RS Fatmawati
No. 24, Pondok Labu, Jakarta Selatan
Wangsit.wss@bsi.ac.id
ABSTRACT
Credit risk is the largest productive assets in the balance sheet amount Rural Bank. Under the Indonesian Banking Statistics in 2011 through 2014, showed, Ratio of Non-Performing Loans by the National Rural Bank has passed Average standard healthy conditions of 5%. These conditions can have a negative impact on the ability of Rural Banks in obtaining profit reflected Return on Assets ratio. The purpose of this study was to determine the performance of Lending in the National Rural Bank with non performing loans ratio indicator, and the impact of risk on the performance of non performing loans with indicators Earnings Ratio Return on Assets. In this study, using the library, and trend analysis of the financial performance data in the National Rural Bank, sourced from Indonesian Banking Statistics published by Bank Indonesia and Otoritas Jasa Keuangan. Based on the trend analysis of the average ratio of non performing loans since 2011 through 2014, has exceeded the healthy standard of 5%, which means that the performance of lending by the National Rural Bank is still quite unwell. Disbursement in the last two years has decreased. This is because the level of market competition is so tight with similar financial institutions, so that the credit market niche Rural Bank shrinking. The ratio of non-performing loans on the basis of the National Rural Bank which on average is still above 5%, and this provides less impact on the growth of acquisition Return on Assets over the past four years.
Keywords : Non
Performing Loans, Return On Assets
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bank Perkreditan
Rakyat sebagai lembaga keuangan yang memiliki fungsi
intermediasi dengan aktivitas menghimpun dana dari masyarakat,
berupa Tabungan dan Deposito Berjangka, dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Aktivitas ini
sesuai dengan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan.
Dalam struktur Neraca Bank Perkreditan Rakyat, Kredit merupakan aktiva yang terbesar jumlahnya dan tergolong dalam kelompok aktiva produktif yang berisiko. Setiap saat debitur bisa saja melakukan tindakan tercela (moral hazard) dan menimbulkan kredit bermasalah, sehingga Bank Perkreditan Rakyat harus memiliki kebijakan kredit, sesuai dengan peraturan regulator dan internal manajemen dengan pelaksanaan yang konsisten. Pelaksanaan secara efektif dari setiap kebijakan pemberian kredit memiliki tujuan agar kredit yang diberikan sesuai dengan prinsip kehati-hatian sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas kredit. Risiko kredit bermasalah dapat ditekan sehingga Kualitas Kredit Bank Perkreditan Rakyat selalu dalam kondisi sehat. Jika risiko kredit bermasalah dapat ditekan salah satunya akan memberikan dampak positif terhadap kemampuan Bank Perkreditan Rakyat dalam memperoleh profit dengan indikator Return On Assets (ROA) yang terus mengalami pertumbuhan positif dari tahun ke tahun.
Berdasarkan fakta di lapangan, operasional Bank Perkreditan Rakyat dalam menyalurkan Kredit kepada masyarakat, memiliki kendala yang berakibat risiko terjadinya kredit bermasalah tidak dapat terhindari, sehingga risiko tersebut membebani biaya operasional bank karena ada kewajiban menyediakan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang harus dibentuk sesuai regulasi yang berlaku. Kondisi ini tentunya menimbulkan masalah bagi pertumbuhan profitabilitas dengan indikator Return on Assets (ROA) jika jumlah kredit bermasalah (Non Perorming) yang tergolong Diragukan dan Macet jumlahnya besar, sebab prosentasi penyisihan yang wajib dibentuk oleh bank juga besar. Perkembangan tingkat kualitas kredit bermasalah yang di dalamnya meliputi kredit dengan kolektibilitas Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet, diukur dengan menggunakan indikator Rasio Non Performing Loans (NPL), dengan batasan toleransi sehat sebesar 5%.
Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia yang disajikan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2014, menunjukkan bahwa posisi Rasio Non Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional selama empat tahun terakhir Rata-Rata telah melewati ambang toleransi sehat 5%. Kondisi ini ternyata memiliki dampak terhadap kemampuan Bank Perkreditan Rakyat dalam memperoleh profit yang tercermin dari Rasio Return On Assets (ROA) pada periode yang sama tetapi pertumbuhannya kurang menggembirakan.
Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pembahasan penelitian, dalam rangka untuk menemukan permasalahan dalam kinerja pemberian kredit selama empat tahun terakhir, sehingga berdampak pada kemampuan memperoleh profit Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional yang pertumbuhannya dinilai bisa lebih dioptimalkan lagi jika dilakukan perbaikan.
1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penulisan penelitian ini adalah untuk melakukan analisa dampak kredit bermasalah yang terdapat di Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional terhadap kemampuannya dalam memperoleh laba berdasarkan asset yang dimiliki, dengan bersumber pada Data Statitik Perbankan Indonesia yang dipublikasikan Bank Indonesia selama tahun 2011 sampai dengan 2014.
Tujuan penelitian sesuai perumusan masalah sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui Kinerja Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional
dengan indikator Rasio Non Performing
Loans (NPL), dan
melakukan evaluasi terhadap permasalahan yang terkait dengan rasio tersebut.
2. Untuk
mengetahui dampak risiko Non
Performing Loans (NPL) terhadap kinerja Laba dengan indikator Rasio Return
On Assets (ROA) Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional.
1.3. Perumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1.
Bagaimana kinerja pemberian kredit dengan indikator Rasio Non Performing Loans (NPL) pada Bank
Perkreditan Rakyat secara Nasional sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2014 ?
2. Bagaimana risiko Non Performing Loans (NPL) berdampak pada pertumbuhan kinerja
Laba dengan indikator Rasio Return On Assets (ROA) pada Bank
Perkreditan Rakyat secara Nasional sejak tahun 2011 sampai dengan 2014 ?
II. LANDASAN TEORI
2.1. Risiko Kredit
Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, “Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran”. Kegiatan utama Bank Perkreditan Rakyat adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka dan tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, kemudian menyalurkannya dalam bentuk pemberian kredit. (Triandaru, 2006 : 86).
Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga” (Triandaru, 2006 : 114) .
Pengertian Risiko kredit adalah risiko yang terjadi akibat dari gagalnya penerima kredit (debitur) dalam memenuhi perjanjian kredit untuk melunasi pembayaran angsuran pokok dan pembayaran bunga kredit pada bank (Ali, 2004:70).
Setiap kegiatan
penempatan dana yang dilakukan bank, maka di dalamnya melekat risiko yang arus
ditanggung. Pengertian Risiko Kredit
adalah risiko yang timbul apabila peminjam tidak dapat mengembalikan dana yang
dipinjam dan bunga yang harus dibayarnya”. (Riyadi, 2006:52).
Cara mengatasinya, unsur risiko di masukkan ke dalam harga, penetapan
limit kredit dan menjaga kesehatan kredit dengan pendekatan CAMEL (Capital, Kualitas Aktiva Produktif,
Manajemen, Earning dan Liquidity).
2.2. Penilaian Kinerja Pemberian Kredit
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/30/DPBR tertanggal 12 Desember 2006 yang telah dirubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU tertanggal 31 Juli 2013 tentang Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat, disebutkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat dalam menyampaikan Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Publikasi diwajibkan menyajikan informasi rasio keuangan paling kurang di antaranya mencakup kinerja kredit bermasalah atau Non Performing Loans (NPL) dan Return On Assets (ROA).
Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.14/26/DKBU Tanggal 19 September 2012 Perihal Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan Bagi Bank Perkreditan Rakyat menyatakan bahwa Kredit merupakan sumber pendapatan utama bagi Bank Perkreditan Rakyat guna kesinambungan usahanya, sehingga Bank Perkreditan Rakyat harus senantiasa menjaga kualitas kreditnya. Untuk itu, dalam pemberian kredit, Bank Perkreditan Rakyat harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan asas-asas perkreditan yang sehat agar kualitas kredit yang diberikan senantiasa lancar. Apabila Bank Perkreditan Rakyat tidak mampu menjaga kualitas kreditnya dengan baik maka hal tersebut akan mempengaruhi kinerja Bank Perkreditan Rakyat khususnya kinerja keuangan yang dapat mengakibatkan kemampuan Bank Perkreditan Rakyat untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah penyimpan menjadi terganggu. Oleh karena itu agar penerapan prinsip kehati-hatian dan asas-asas perkreditan yang sehat tersebut dilaksanakan secara konsisten maka BPR harus memiliki Pedoman Kebijakan Perkreditan Bank Perkreditan Rakyat (PKPB).
Dalam melaksanakan kegiatan pemberian kredit, Bank Perkreditan Rakyat dihadapkan pada risiko kredit yang bermasalah (Non Performing Loans). Munculnya kredit bermasalah disebabkan oleh kesalahan bank dan atau nasabah, lebih disebabkan karena faktor-faktor internal bank yang meliputi kelemahan manajemen, sumber daya manusia dan bank terlalu berani memberikan kredit pada sektor yang berisiko.
Menyadari pentingnya kesehatan suatu Bank Perkreditan Rakyat bagi pembentukan kepercayaan dalam dunia perbankan serta untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential banking principle), maka Bank Indonesia merasa perlu untuk menerapkan aturan tentang kesehatan bank. Ketentuan kesehatan untuk Bank Perkreditan Rakyat diatur berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 30/12/KEP/DIR tertanggal 30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat. Ketentuan ini berlaku dalam hal menilai kesehatan dalam pengelolaan kredit Bank Perkreditan Rakyat, atau yang disebut dengan faktor Kualitas Aktiva Produktif (KAP).
Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat, Aktiva Produktif adalah penyediaan dana BPR dalam Rupiah untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk Kredit, Sertifikat Bank Indonesia dan Penempatan Dana Antar Bank. Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Kredit ditetapkan dalam empat golongan, yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. Penilaian terhadap Aktiva Produktif tersebut dilakukan berdasarkan ketepatan membayar dan/atau kemampuan membayar kewajiban oleh Debitur.
Bank Perkreditan Rakyat sebagan besar menerapkan sistem pembayaran angsuran kredit secara bulanan. Sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011, kualitas kredit dapat digolongkan dalam kualitas Lancar, jika kredit memenuhi ketentuan yaitu tidak memiliki tunggakan angsuran baik pokok dan atau bunga. Kredit digolongkan sebagai kredit bermasalah (Non Performing) menurut peraturan tersebut, jika sudah masuk kriterianya dalam kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. Kredit digolongkan sebagai kualitas Kurang Lancar jika terdapat tunggakan pokok dan atau bunga kredit lebih dari tiga bulan sampai maksimal enam bulan. Jika kredit terdapat tunggakan pokok dan atau bunga lebih dari enam bulan sampai dengan dua belas bulan dan kredit belum jatuh tempo, kredit digolongkan dalam kualitas Diragukan. Selanjutnya jika kredit menunggak lebih dari dua belas bulan, maka kredit dapat digolongkan sebagai kualitas Macet. Terhadap kredit yang telah jatuh tempo, maka perpindahan kualitas kredit terjadi dengan menyesuaikan tanggal jatuh temponya. Kredit yang telah jatuh tempo dengan tunggakan pokok dan bunga berapapun, pada bulan pertama berpindah ke kualitas kurang lancar, jika sudah dua bulan jatuh tempo berpindah ke kualitas kurang lancar dan memasuki jatuh tempo tiga bulan pindah ke kualitas diragukan, selanjutnya pada bulan ke empat pindah ke kualitas macet.
Mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/23/DPNP 31 Mei 2004 perihal Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, yang juga digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, Penilaian kesehatan faktor Kualitas Aktiva Produktif Bermasalah menggunakan indikator Rasio Non Performing Loans (NPL), (Triandanu, 2006:58).
Indikator Rasio Non Performing Loans (NPL) yang digunakan dalam mengukur kinerja pemberian kredit
bank, memiliki
formula sebagai berikut :
Aktiva Produktif = Jumlah Kredit yang diberikan
Standar Sehat = 5%
Menurut Peraturan
Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011, Bank Perkreditan Rakyat wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif
(PPAP) berupa PPAP umum dan PPAP khusus. PPAP umum ditetapkan paling kurang
sebesar 0,5% (lima permil) dari Aktiva Produktif yang memiliki kualitas Lancar. PPAP khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling kurang sebesar:
1.
10%
(sepuluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Kurang Lancar
setelah dikurangi dengan nilai agunan;
2. 50%
(lima puluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Diragukan setelah dikurangi dengan
nilai agunan; dan
3.
100%
(seratus perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Macet setelah
dikurangi dengan nilai agunan.
2.3. Rasio Rentabilitas
Return On Asset
(ROA)
Rentabilitas
atau profitability adalah menunjukkan
kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode
tertentu. Rentabilitas suatu perusahaan diukur dengan kesuksesan perusahaan dan
kemampuan menggunakan aktivanya secara produktif, dengan demikian rentabilitas
suatu perusahaan dapat diketahui dengan memperbandingkan antara laba yang
diperoleh dalam suatu periode dengan jumlah aktiva atau jumlah modal perusahaan
tersebut (Munawir, 2012:33).
Rasio
profitabilitas adalah perbandingan Laba (setelah pajak) dengan Modal Inti atau Laba (sebelum pajak)
dengan total Asset yang dimiliki bank pada periode tertentu. Agar hasil
perhitungan rasio mendekati pada kondisi yang sebenarnya (real), maka posisi modal atau assets dihitung secara rata-rata
selama periode tersebut.(Riyadi, 2006:155).
Laba bank yang
besar akan menjamin adanya sumber modal yang stabil dan dengan demikian akan
memudahkan di dalam menarik sumber dana dari luar. Menurut surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 30/12/KEP/DIR tertanggal 30 April 1997 tentang Tatacara
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat, penilaian terhadap faktor
Rentabilitas dikaitkan dengan pengelolaan aktiva menggunakan rasio Return On Assets (ROA). Formula
yang digunakan dalam perhitungan Return
On Assets
(ROA) sebagai berikut :
Dengan
mengetahui cara perhitungan dengan menggunakan rumus-rumus untuk menghitung
rasio keuangan bank, maka dapat melakukan penilaian terhadap kinerja bank,
apakah telah bekerja secara efisien dan bagaimana tingkat kesehatan bank yang
bersangkutan, serta upaya-upaya apa yang harus dilakukan agar bank tersebut
dapat bekerja lebih efisien dan lebih baik lagi.
Memaksimumkan
laba menunjukkan bahwa manajer bank harus menanamkan dananya di dalam aktiva yang
menghasilkan pendapatan kotor yang tertinggi dan menjaga agar biaya bank
menurun. Untuk memperoleh pendapatan
yang lebih tinggi, sebuah bank harus mengambil risiko tinggi atau menurunkan
biaya operasi, (Soedarto, 2007:117).
III. Metode Penelitian
Dalam
menyusun penelitian ini, penulis menggunakan metode pustaka, dan pengkajian data
keuangan sekunder dengan menggunakan analisa trend terhadap kinerja keuangan Bank Perkreditan Rakyat secara
Nasional sesuai permasalahan yang
bersumber dari Data Statistik Perbankan Indonesia yang dipublikasikan Bank
Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2011, 2012,
2013, 2014 dan
berdasarkan pada peraturan-peraturan Bank Indonesia yang terkait dengan
kebijakan operasional Bank Perkreditan Rakyat.
IV. Hasil dan Pembahasan
4.1. Analisis
Kinerja Pemberian Kredit
Berdasarkan
penelitian, Bank Perkreditan Rakyat dalam melakukan penilaian terhadap kinerja
pemberian kredit, menggunakan Indikator Rasio Non Performing Loans (NPL), dengan standar sehat maksimal 5%. Indikator kinerja kredit ini harus dipublikasikan dan
disajikan dalam laporan keunagan tahunan Bank Perkreditan Rakyat. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU tahun 2013 perihal Laporan
Keuangan Tahunan dan Laporan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat, disebutkan
bahwa dalam rangka menciptakan transparansi atas laporan keuangan dan kinerja
Bank Perkreditan Rakyat, maka Bank Perkreditan Rakyat wajib menyajikan
informasi kinerja kuangan yang di antaranya adalah Rasio Keuangan Non Performing Loans dan Return On Assets (ROA).
Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian (prudential banking principle), Bank Perkreditan
Rakyat dalam melaksanakan aktivitas pemberian kredit wajib mengacu pada
Peraturan Bank
Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat. Peraturan tersebut mewajibkan manajemen Bank Perkreditan Rakyat menyusun Kebijakan
Kredit dan Standar Operasional Prosedur yang berisi seluruh proses pemberian
kredit mulai dari Permohonan Kredit, Proses Kredit, Pengawasan Kredit sampai
dengan Penyelesaian
Kredit Bermasalah.
Indikator Rasio Non Performing Loans (NPL) merupakan rasio yang membandingkan antara jumlah kredit
bermasalah yang memiliki kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet dengan
Jumlah Kredit yang Diberikan. Kualitas aktiva produktif dalam bentuk pemberian
kredit dibagi dalam empat golongan kualitas yaitu Lancar,
Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.
Dalam prakteknya Bank Perkreditan Rakyat menerapkan ketentuan
pembayaran kembali atas kredit yang diberikan dengan sistem angsuran bulanan. Suku bunga kredit dihitung
secara secara flate (pro rata) atau ada juga secara efektif (harian). Kualitas
kredit setiap debitur bisa berubah-ubah setiap bulan tergantung kepada
kepatuhan debitur dalam menyelesaikan kewajibannya. Kredit masih digolongkan
sebagai kredit Lancar, jika tunggakan pokok dan atau bunga maksimum selama tiga
bula. Atas tunggakan bunga dapar diakui sebagai pendapatan bunga secara accrual sekalipun belum dibayar. Kredit
digolongkan sebagai kredit bermasalah (Non
Peforming) pada saat tunggakan pokok dan atau bunga telah melampaui tiga
bulan, dan tunggakan bunga yang telah diakui sebagai pendapatan selama tiga
bulan dikoreksi dengan cara mendebet pendapatan bunga tersebut dan mengkredit
bunga yang akan diterima. Jika tunggakan pokok dan atau bunga di atas tiga
bulan sampai dengan enam bulan, kualitas kredit digolongkan sebagai Kurang
Lancar. Berikutnya, Kredit digolongkan dalam kualitas Diragukan, jika tunggakan pokok dan atau bunga lebih dari enam
bulan sampai dengan dua belas bulan dan kredit belum jatuh tempo. Jika kredit
menunggak sudah lebih dari dua belas bulan, maka kredit digolongkan sebagai kredit
dengan kualitas Macet. Terhadap kredit yang telah jatuh tempo, maka perpindahan
kualitas kredit terjadi dengan menyesuaikan tanggal jatuh temponya. Kredit yang
telah jatuh tempo dengan tunggakan pokok dan bunga berapapun, pada bulan
pertama berpindah ke kualitas kurang lancar, jika sudah dua bulan jatuh tempo
berpindah ke kualitas kurang lancar dan memasuki jatuh tempo tiga bulan pindah
ke kualitas diragukan, selanjutnya pada bulan ke empat pindah ke kualitas
macet.
Peraturan Bank Indonesia tersebut, merupakan sebuah
upaya yang dilakukan pihak regulator dan otoritas pengawas operasional Bank
Perkreditan Rakyat yang saat ini dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
dalam rangka menciptakan sistem pemberian kredit yang terkelola dengan sehat
sehingga kredit bisa memberikan dampak positif baik kepada nasabah maupun
kepada pertumbuhan industri Bank Perkreditan Rakyat. Selain itu, mengingat kredit
merupakan aktiva produktif terbesar yang memiliki risiko dapat menimbulkan
kerugian, maka regulasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan manajemen Bank
Perkreditan Rakyat, diharapkan dapat mencegah terjadinya kredit macet sehingga
pertumbuhan laba Bank Perkreditan Rakyat terus mengalami peningkatan. Untuk
mengetahui perkembangan aktivitas pemberian kredit Bank Perkreditan Rakyat
secara Nasional, dan dampaknya terhadap kemampuan memperoleh laba, maka
peneliti melakukan analisis trend
terhadap data sekunder terkait penelitian dengan bersumber dari Data Statistik
Perbankan Indonesia selam tahun 2011, 2012, 2013 dan 2014, yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia.
Berdasarkan
Data Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia, rata-rata pertumbuhan Rasio Non
Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional selama tahun 2011,
2012, 2013 dan 2014 dapat disajikan sebagai berikut
:
Berdasarkan pada Tabel 1 di atas, dapat dilakukan analisa terhadap data
pertumbuhan rasio Non Performing Loans (NPL) Bank
Perkreditan Rakyat secara Nasional selama empat tahun. Jika melihat pada posisi
setiap akhir bulan Desember atau saat tutup buku akhir tahun, posisinya
mencerminkan kondisi yang tergolong sehat, kecuali pada tahun 2011 menembus
angka 5,22%. Kemudian pada tahun 2012 mengalami penurunan menjadi 4,75% , tahun
2013 turun kembali menjadi 4,41% dan pada tahun 2014 kembali naik sama seperti
tahun 2012 sebesar 4,75%, kondisinya masih tergolong sehat. Akan tetapi jika analisa Rasio Non Performing Loans (NPL) ini dilakukan dengan mendasarkan pada
pertumbuhan setiap bulannya pada setiap tahun, maka ditemukan rata-rata rasio Non Performing Loans (NPL) pada
tahun 2011 sebesar 6,15%, kemudian menurun pada tahun 2012 sebesar 5,38%, pada
tahun 2013 kembali turun menjadi 5,05%, tetapi pada tahun 2014 kembali mengalami
kenaikan menjadi sebesar 5,13%. Berdasarkan rata-rata Rasio Non Performing Loans (NPL) sejak tahun 2011 sampai dengan
2014, maka rasio tersebut sudah menembus batas standar sehat yaitu 5%. Artinya kondisi
Rasio Non Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan Rakyat secara
Nasional tergolong kurang sehat.
Untuk mengetahui
lebih jauh sumber penyebab kondisi Rata-Rata Rasio Non Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan Rakyat selama empat tahun
dalam kondisi kurang sehat, maka diperlukan data pendukung analisa sebagai
berikut :
Berdasarkan penelitian pada Tabel 3 tersebut di atas, Bank Perkreditan Rakyat pada delapan
provinsi tersebut di atas, memiliki
kontribusi terbesar dalam menciptakan rasio Non
Performing Loans (NPL) yang tinggi secara Nasional. Kontribusi Non Performing Loans (NPL) pada delapan
provinsi tersebut sejak tahun 2012 secara keseluruhan terus mengalami penurunan
dari 80,52% pada tahun 2011 menjadi 76,78% pada tahun 2013, akan tetapi kembali
meningkat menjadi 77,11% pada tahun 2014. Artinya, kunci permasalahan tidak
stabilnya rasio Non Performing Loans (NPL)
Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional selama empat tahun terakhir ini berada
di area delapan provinsi di atas. Adanya penurunan kredit Non Performing Loans (NPL) tersebut
dinilai masih belum signifikan sebab faktanya Bank Perkreditan Rakyat di
provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah kondisi jumlah Non Performing Loans (NPL) terus mengalami peningkatan yang cukup
signifikan. Bank Perkreditan Rakyat di provinsi Jawa Barat, pada tahun 2011
kredit Non Performing Loans (NPL)
sebesar Rp. 455 Milyar, dan dalam waktu dua tahun pada akhir tahun 2014
meningkat sekitar 53,85% menjadi sebesar Rp. 700 Milyar. Selanjutnya, Bank
Perkreditan di provinsi Jawa Tengah dengan jumlah Non Performing Loans (NPL) pada tahun 2011 sebesar Rp. 675 Milyar, dalam dua tahun
mengalami peningkatan sekitar 18,18% menjadi sebesar Rp. 825 Milyar.
Berikutnya, Bank Perkreditan Rakyat di Jawa Timur, pada tahun 2011 jumlah Non Perfoming Loan (NPL) sebesar Rp. 194
Milyar, dua tahun kemudian pada tahun 2014 mengalami peningkatan sekitar 92,78%
menjadi sebesar Rp. 374 Milyar. Berikutnya, Bank Perkreditan Rakyat di provinsi
Bali pada tahun 2011, jumlah kredit Non
Performing Loans (NPL) sebesar Rp. 95 Milyar, terus mengalami peningkatan
dan pada tahun 2014 mencapai jumlah sebesar Rp. 168 Milyar atau meningkat
sekitar 76,84%. Bank Perkreditan Rakyat
di Sumatera Barat, setelah tiga tahun kredit Non Performing Loans (NPL) berada antara sebesar Rp. 66 Milyar
sampai dengan sebesar Rp. 68 Milyar, pada tahun 2014 terjadi peningkatan
sekitar 27,27% menjadi sebesar Rp. 84 Milyar. Hal serupa dialami
kepada Bank Perkreditan Rakyat di provinsi Riau, pada tahun 2011 jumlahnya
masih di bawah Rp. 50 Milyar, tetapi pada akhir tahun 2014 meningkat sekitar
128,57% dengan jumlah mencapai Rp. 144 Milyar. Provinsi ke delapan adalah Bank
Perkreditan Rakyat di provinsi Banten yang pada tahun 2011 memiliki kredit Non Performing Loans (NPL) sebesar Rp.
85 Milyar, dan dua tahun kemudian pada akhir tahun 2014 mengalami peningkatan
sekitar 18,82% menjadi sebesar Rp. 101
Milyar.
Berdasarkan analisa data pada Tabel 3 di atas, dapat
disimpulkan bahwa ada empat Provinsi di mana Bank Perkreditan Rakyat beroperasi
yang mengalami trend peningkatan Non Performing Loans (NPL) yang cukup
signifikan selama dua tahun terakhir, yaitu di provinsi Riau mencapai 128,57%, di
provinsi Jawa Timur mencapai 92,78%, di
provinsi Bali mencapai 76,84%, kemudian di provinsi Jawa Barat mencapai 53,85%.
Dengan terdeteksinya empat provinsi yang paling banyak memberikan kontribusi
terhadap kenaikan rasio Non Performing
Loans (NPL) secara Nasional, maka pihak manajemen Bank Perkreditan Rakyat
di provinsi tersebut harus lebih berupaya keras untuk menyelesaikan kredit
bermasalah yang terdapat di bank masing-masing, sehingga diharapkan terjadi
penurunan yang signifikan di pertengahan sampai dengan akhir tahun 2015 nanti,
dan tentunya akan memberikan kontribusi positif terhadap kinerja perkreditan
Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional.
4.2. Dampak Risiko Non
Performing Loans (NPL) Terhadap Pertumbuhan Kinerja Return On Assets (ROA)
Risiko dalam pemberian kredit terjadi jika kredit Bank
Perkreditan Rakyat kualitasnya sudah bermasalah, yaitu tergolong kurang lancar,
diragukan dan macet, sebab angsuran pokok dan bunga yang seharusnya diterima
sesuai jadwal jadi tertunda bahkan bisa dalam waktu yang sangat lama dan tidak
ada kepastian. Dampak dari terjadinya wanprestasi oleh pihak debitur yang
kreditnya bermasalah akan menghambat cash
in flow atau arus kas masuk bank.
Jika kondisi terhambatnya arus kas masuk dari
penerimaan pokok dan bunga ini terus terjadi, dan jika manajemen tidak cepat mencarikan
solusi penyelesaiannya, maka bank tersebut akan mengalami kesulitan likuiditas untuk
memenuhi kebutuhan operasional sehari-hari, termasuk untuk memenuhi kewajiban
kepada nasabah dan penyaluran kredit baru. Manajemen harus mencari sumber dana
baru yang tidak tertutup kemungkinan berbiaya mahal, sehingga ada risiko bunga
di mana biaya dana yang baru bertambah jumlahnya dan akan mengurangi laba.
Terhambatnya arus kas masuk akibat kredit bermasalah juga
berdampak pada berkurangnya penerimaan pendapatan bank, berupa pendapatan bunga
setiap bulan. Termasuk dalam hal ini, koreksi pendapatan bunga yang dicatat
secara accrual selama tiga bulan wajib dikoreksi jika kredit berpindah dari
kualitas lancar menjadi kurang lancar. Kondisi ini jelas mengurangi jumlah
pendapatan bank, dan pastinya akan mempengaruhi kemampuan bank dalam memperoleh
laba,
Tidak hanya itu, karena adanya risiko kesulitan
likuiditas, maka Bank Perkreditan Rakyat juga tidak bisa melakukan ekspansi
kredit baru yang potensial, sehingga peluang penerimaan pendapatan bank jadi
hilang atau berkurang.
Risiko lainnya yang mengakibatkan berkurangnya laba
bank adalah jika bank mengalami risiko hukum. Dalam pemberian kredit bisa
terjadi ketika debitur wanprestasi dan bank tidak dapat melakukan tindakan
hukum, karena analisa dan pengikatan kredit yang lemah. Apabila faktor hukum
tidak diperhatikan dengan baik, dan ketika terjadi kredit masuk kualitas macet,
maka Bank Perkreditan Rakyat bisa berada dalam posisi yang lemah sehingga
risiko bisa menimbulkan kerugian yang membebani bank. Biaya yang dikeluarkan bank
akibat penyelesaian kredit dengan menempuh jalur hukum, jumlahnya besar dan
dapat menimbulkan beban yang dapat mengurangi kemampuan bank dalam memperoleh
laba atau Return On Assets (ROA) yang
optimal.
Dampak Risiko kredit bermasalah terhadap kemampuan memperoleh
laba juga diakibatkan dari penerapan ketentuan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 13/26/PBI/2011 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat. Dalam peraturan tersebut setiap Bank Perkreditan
Rakyat diwajibkan untuk membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif
(PPAP) umum dan khusus. PPAP umum ditetapkan 0,5% dikalikan dengan baki debit
dari jumlah kredit yang diberikan bank. Sedangkan PPAP khusus ditetapkan, 10% (sepuluh perseratus) dari Aktiva
Produktif dengan kualitas Kurang Lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan, 50% (lima puluh
perseratus) dari Aktiva Produktif dengan
kualitas Diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan, dan 100% (seratus
perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Macet setelah dikurangi
dengan nilai agunan.
Jadi dengan semakin besarnya jumlah kredit bermasalah
dengan kualitas diragukan dan macet, maka semakin besar jumlah penyisihan
penghapusan aktiva produktif (PPAP) yang wajib dibentuk oleh Bank Perkreditan
Rakyat. Pembentukkan PPAP ini memiliki dampak langsung terhadap kemampuan Bank
Perkreditan Rakyat dalam memperoleh laba setiap bulannya dan terakumulasi
biayanya dalam satu tahun dengan jumlah yang cukup besar. Tujuan pembentukkan PPAP
adalah untuk antisipasi jika kredit macet tidak memungkinkan bisa ditagih lagi,
maka bank dapat melakukan penghapus bukuan karena sudah memiliki cadangan
penghapusan yang mencukupi, sehingga diharapkan rasio Non Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan rakyat bisa kembali
sehat.
Untuk menganalisis dampak kredit bermasalah (Non Performing Loans) terhadap
pertumbuhan Return On Assets (ROA) Bank
Perkreditan Rakyat secara Nasional, maka dapat dijelaskan pada tabel 4 sebagai
berikut :
Pada tabel 4 tersebut di atas, dapat dianalisis
terhadap trend pertumbuhan Bank
Perkreditan Rakyat dalam memperoleh laba dengan indikator Return On Assets (ROA) selama empat tahun. Data tersebut
menunjukkan bahwa pada tahun 2011 rata-rata Return
On Assets (ROA) yang dapat diraih oleh Bank Perkreditan Rakyat secara
Nasional sebesar 3,74%. Sedangkan pada tahun 2012 sampai dengan 2014 terus
mengalami penurunan, yaitu 3,70% pada tahun 2012, 3,69% pada tahun 2013 dan 3,23%
pada tahun 2014. Jika didasarkan pada laporan publikasi per Desember, kondisi
rasionya lebih rendah dari posisi Return
On Assets (ROA) Rata-rata, yaitu pada tahun 2011 sebesar 3,32%, tahun 2012
sebesar 3,46 %, tahun 2013 sebesar 3,44%
dan tahun 2014 sebesar 2,98%.
Berdasarkan pertumbuhan Return On Assets (ROA) yang cenderung tidak ada kenaikan yang
signifikan, penulis meneliti bahwa pada dasarnya kondisi tersebut memiliki
keterkaitan dengan kondisi rasio Non
Performing Loans (NPL) selama empat tahun terakhir, di mana rata-rata
menembus angka 5% dan dalam kondisi kurang sehat. Hal ini tentunya menjadi
kunci masalah yang harus ditangani manajemen Bank Perkreditan Rakyat jika ingin
rasio Return On Assets (ROA) pada
tahun 2015 mengalami pertumbuhan di atas 4%.
V. PENUTUP
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah
diuraikan, msks dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Bank
Perkreditan Rakyat dalam melakukan penilaian terhadap kinerja pemberian kredit,
menggunakan Indikator Rasio Non
Performing Loans (NPL), dengan standar sehat maksimal 5%.
Berdasarkan analisis trend rata-rata Rasio
Non Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan Rakyat secara
Nasional sejak tahun 2011 sampai dengan 2014, kondisi kredit bermasalah (Non
Performing) sudah melampaui standar sehat yaitu 5%, yang artinya kinerja pemberian kredit Bank Perkreditan
Rakyat secara Nasional masih tergolong kurang
sehat.
2. Pertumbuhan kredit Bank Perkreditan Rakyat secara
Nasional kecenderungannya mengalami penurunan. Pada posisi
Desember 2014 pertumbuhannya paling
rendah dibandingkan dengan tahun 2012 dan 2013. Kondisi ini menggambarkan bahwa
selama dua tahun terakhir ini, Bank
Perkreditan Rakyat mengalami
penurunan dalam penyaluran kredit. Hal ini disebabkan
karena
tingkat persaingan pasar yang begitu ketat dengan lembaga keuangan sejenis,
sehingga ceruk pasar kredit kian menyempit.
3.
Rasio Non Performing Loans (NPL) Bank
Perkreditan secara Nasional yang rata-rata masih di atas 5%, memberikan dampak
terhadap kurang bertumbuhnya perolehan Return
On Asset (ROA) selama empat tahun terakhir ini. Hal ini dibuktikan dengan
data laporan publikasi per Desember, posisi Return
On Assets (ROA) pada tahun 2011 sebesar 3,32%, tahun 2012 sebesar 3,46 %,
tahun 2013 turun sebesar 3,44% dan tahun 2014 turun kembali menjadi sebesar
2,98%.
Saran yang dapat diberikan adalah hendaknya Manajemen
Bank Perkreditan Rakyat lebih meningkatkan ekspansi kredit dengan proses yang
tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian, kemudian dilakukan monitoring yang
ketat. Hal ini dimaksudkan agar kredit tetap lancar dan jika terjadi masalah
dapat dideteksi dan dicari solusinya sejak awal, sehingga risiko kerugian dalam
bentuk penambahan beban penyisihan penghapusan aktiva produktif dapat ditekan,
sebab akan mengurangi kemampuan
bank dalam memperoleh laba. Manajemen Bank
Perkreditan Rakyat hendaknya juga memperhatikan kompetensi Sumber Daya Manusia
yang terlibat dalam aktivitas kredit sehari-hari, sehingga memahami proses
pemberian kredit yang benar dan akurat. Terhadap kredit yang tergolong kualitas macet, hendaknya manajemen terus
mengupayakan mengeksekusi agunan, dan sebaiknya terhadap kredit yang sudah
sulit ditagih segera dilakukan penghapus bukuan (write off), sehingga Rasio
Non Performing Loan (NPL)
selalu berada di bawah 5%. Selain itu hendaknya Otoritas
Jasa Keuangan lebih memperketat lagi pengawasan dan pembinaan kepada Bank
Perkreditan Rakyat di provinsi yang memiliki tingkat Non Performing Loan (NPL) tinggi.
No comments:
Post a Comment